Rabu, 23 April 2014

SeaOrbiter, Teknologi Laboratorium Bawah Laut





SeaOrbiter, Teknologi Laboratorium Bawah Laut – SeaOrbiter bukanlah kapal riset biasa. Kapal buatan Prancis ini merupakan hasil persilangan antara kapal riset dan sebuah kapal selam. Meski kapal tersebut memiliki tinggi 58 meter, hampir separuh badan kapal terendam di dalam air, sehingga membuatnya mirip kapal selam.
Keunikan kapal ini memang terletak pada bagian yang berada di bawah permukaan laut. Berbeda dengan kapal riset lain, SeaOrbiter menawarkan kesempatan yang lebih luas bagi peneliti ataupun penjelajah untuk merasakan kehidupan di bawah laut selama 24 jam penuh.
Konsep kapal rancangan arsitek Prancis Jacques Rougerie ini sempat dipamerkan di paviliun Prancis pada Expo 2012 di Yeosu, Korea Selatan. “Kapal vertikal ini akan menjadi rumah bagi 18 oceanaut yang akan mengamati kehidupan laut secara permanen. Berbagai bentuk kehidupan laut akan menyatu secara alami di bawah kapal,” kata Rougerie, seperti dikutip situs Gizmag.
Sebelum menemukan rancangan yang tepat, SeaOrbiter mengalami beberapa kali perombakan desain. Setelah 12 tahun, konsep SeaOrbiter akhirnya memperoleh lampu hijau. Tahun lalu, kapal ini menyelesaikan fase desain industrialnya dan proses konstruksi diperkirakan mulai berlangsung pada November ini.
“Seluruh masalah teknis sudah beres. Semua pemodelan juga rampung,” kata Ariel Fuchs, Direktur Edukasi dan Media Proyek SeaOrbiter. “Kami mengumpulkan dukungan dari kalangan institusi dan industri sejak lima atau enam tahun lalu dan kini SeaOrbiter menjadi sebuah proyek institusional dan keuangan selama dua tahun terakhir.”
Pembangunan kapal diperkirakan membutuhkan biaya hingga US$ 53 juta. Bila selesai nanti, kapal akan terendam di bawah permukaan air sedalam 31 meter, sehingga mempermudah penelitian lingkungan bawah air secara terus-menerus.
“Salah satu pengguna pertama kami adalah kalangan ilmuwan,” kata Fuchs. “Kapal ini memang dirancang untuk mengeksplorasi samudra dengan cara baru, memberi kesempatan bagi orang untuk tinggal di bawah laut dalam jangka waktu panjang, mengamati, menjalankan misi riset biologi kelautan, oseanografi, dan masalah lingkungan.”
Kapal berbobot 1.000 ton ini dirancang untuk mengapung secara vertikal dan hanyut terbawa arus laut. Namun, SeaOrbiter juga memiliki dua baling-baling kecil, sehingga dapat mengubah lintasan ataupun melakukan manuver untuk menghindari badai dan tabrakan dengan karang atau kapal lain. Kapal ini dilengkapi pula pembangkit listrik dari energi terbarukan, seperti energi surya, angin, dan gelombang, untuk memasok sistem pendukung kehidupan.
Posisinya yang vertikal membuat badan kapal yang berada di atas permukaan air hanya 27 meter, sehingga laboratorium yang lebih besar dan akomodasi terletak di bawah air. Beberapa lantai memiliki kabin bertekanan, baik tekanan atmosferik maupun tekanan air di luar kapal. Kabin bertekanan ini membantu para penyelam menyesuaikan diri dengan tekanan air.
Untuk mengeksplorasi laut dalam yang tak dapat dijangkau dengan penyelaman biasa, SeaOrbiter mempunyai robot bawah air yang dapat dikirim ke dasar laut.
Tak hanya memiliki desain yang futuristik, badan kapal juga terbuat dari alloy yang terdiri atas aluminium dan magnesium. Amalgam itu lima kali lipat lebih tebal daripada logam yang digunakan kapal biasa.
Dalam mendesain SeaOrbiter, Rougerie memperoleh inspirasi dari para penjelajah samudra terkemuka, seperti Jacques Cousteau dan Tektite, laboratorium eksperimental berbentuk kapsul bawah air yang digunakan oleh ahli oseanografi Sylvia Earle pada 1969.
Earle adalah salah seorang pendukung utama proyek SeaOrbiter, selain mantan administratur NASA Dan Goldin dan astronaut Jean-Loup Chretien. Meski proyek ini bertujuan membangun sebuah kapal laut, dukungan juga diperoleh dari Badan Antariksa Eropa (ESA). Sejumlah organisasi industri lain turut membantu pengembangan teknologi dan sistem yang diperlukan proyek ambisius ini.
Dalam nota kesepahaman antara proyek SeaOrbiter dan ESA pada 8 Februari lalu disepakati bahwa ESA dapat menggunakan fasilitas ruang bertekanan di kapal itu sebagai simulator antariksa untuk melatih astronautnya sebagai persiapan eksplorasi ruang angkasa. Kondisi di ruang bertekanan mirip dengan apa yang ditemukan di angkasa luar. Sebagai gantinya, ESA akan membantu pengembangan teknologi desain dan daur ulang dalam lingkungan eksternal, serta komunikasi pendidikan publik.
Sebuah proyek lain kini tengah dikerjakan bersama dengan EADS, perusahaan sistem antariksa dan pertahanan Eropa, untuk mengembangkan biofuel sebagai sumber listrik utama kapal tersebut. “Untuk memenuhi persyaratan filosofi lestari yang berkembang saat ini,” kata Fuchs.

Sumber : http://griyayatim.or.id/artikel/seaorbiter-teknologi-laboratorium-bawah-laut.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar